Sabtu, 25 Oktober 2014

Inhouse Training Untuk Membangun Kesadaran Keterhubungan Dalam Bekerja

Dalam sebuah diskusi belum lama ini, dua orang pejabat dari sebuah pemda menyampaikan sebuah kisah yang menarik.  Mereka mengaku kesal dengan para pegawai di kantor mereka masing-masing yang mereka anggap kurang memiliki kesadaran terhadap keterhubungan pekerjaan.  Kesadaran akan adanya saling keterkaitan, saling mendukung, saling melengkapi, dan saling bergantung antara unit-unit kerja di instansi tempat mereka bekerja.  Menurut mereka, para pejabat dan pegawai saat ini sangat berorientasi kepada dirinya sendiri, dan berpikir sebatas hanya untuk unit kerjanya sendiri.
Akibat kurangnya kesadaran ini, banyak persoalan kerja yang kemudian muncul.  Banyak pekerjaan yang menjadi terlambat untuk diselesaikan hanya karena harus menunggu hadirnya seseorang, atau terpaksa harus tertunda karena proses di unit kerja lainnya belum selesai.
Pada kasus yang lain, rendahnya kesadaran keterhubungan ini juga tidak jarang mengakibatkan terputusnya atau terbengkalainya suatu pekerjaan akibat tidak jelasnya siapa eksekutor berikutnya.  Lalu ketika terjadi masalah, masing-masing bagian lepas tanggungjawab.
Selain berdampak pada persoalan-persoalan teknis, rendahnya kesadaran keterhubungan ini juga berimbas kepada sikap mental para pegawai.  Mereka menjadi kurang kreatif dan kurang terdorong untuk melakukan inovasi.  Dari hari ke hari para pegawai hanya menjalani rutinitasnya saja tanpa mempedulikan apakah pekerjaannya memiliki dampak atau tidak bagi unit kerja lainnya.  Mereka kurang memikirkan apakah mereka sudah memberikan pelayanan yang terbaik atau belum kepada proses berikutnya.  Para pegawai kurang memiliki kesadaran bahwa mereka sebenarnya adalah bagian dari sebuah sistem yang saling terkait untuk menuju pada tujuan yang sama.
Pendek kata, hampir semua pejabat dan staf di semua bagian telah terjebak pada cara berpikir yang sangat sektoral.  Orientasinya sebatas yang penting kerjaan di bagiannya beres, tidak peduli dengan urusan di bagian lainnya.  Disadari atau tidak, kondisi ini terjadi hampir di semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.  Bahkan mungkin juga di dunia swasta.  Apakah hal ini juga terjadi di tempat anda?
Dengan fenomena diatas, maka dapat dipahami kalau kurangnya kesadaran terhadap keterhubungan pekerjaan akhirnya berpengaruh signifikan terhadap resultan kinerja organisasi.

Dalam konteks kediklatan, rendahnya kesadaran keterhubungan ini seharusnya menjadi isu yang menarik, khususnya bagi para widyaiswara, dan umumnya bagi para insan kediklatan yang berkecimpung dalam perancangan program diklat.  Mengapa? Karena diklat sesungguhnya mampu memberikan jawaban atas persoalan ini.  Pertanyaan utama yang harus dapat dijawab adalah: mengapa pejabat/staf umumnya kurang peduli dengan mekanisme “linking” ini?  Apakah ini persoalan mentalitas? Ataukah ini lebih karena kurangnya pemahaman terhadap proses bisnis organisasi?
Saya pribadi berpendapat bahwa disana terjadi dua persoalan sekaligus, (1) mentalitas, dan juga (2) penguasaan proses bisnis.  Agar lebih bisa memahami persoalan, mari kita lihat terlebih dahulu konsep keterhubungan dalam bekerja dalam teori proses bisnis berikut ini:

PROSES BISNIS
Proses bisnis adalah suatu kumpulan aktivitas atau pekerjaan terstruktur yang saling terkait untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu, atau untuk menghasilkan produk atau layanan tertentu (Wikipedia, 2014).  Proses bisnis pada dasarnya adalah kumpulan aktivitas yang mengubah input menjadi output yang lebih bernilai.

Proses bisnis akan menghasilkan output yang diharapkan, apabila didukung oleh beberapa elemen.  Elemen-elemen ini adalah: (i) rancangan aliran kerja, (ii) teknologi informasi, (iii) motivasi dan pengukurannya, (iv) sumber daya manusia, (v) kebijakan dan aturan, dan (vi) fasilitas.

Menurut Andry Delfa, 2009 (dengan modifikasi), suatu proses bisnis yang baik harus memiliki tujuan-tujuan seperti mengefektifkan, mengefisienkan, dan membuat mudah untuk beradaptasi pada proses-proses didalamnya.  Artinya proses bisnis tersebut harus merupakan proses bisnis yang berorientasi kepada jumlah dan kualitas produk output, minimal dalam menggunakan sumber daya, dan dapat beradaptasi sesuai dengan kebutuhan pasar.  Proses bisnis juga mengacu kepada teknik-teknik manajemen untuk mengkoordinasikan pekerjaan. Setiap pekerjaan dapat dilihat sebagai sekumpulan proses.  Beberapa dari proses ini adalah bagian dari proses yang cakupannya lebih besar,
Kinerja organisasi tergantung pada seberapa baik proses bisnis dirancang dan dikoordinasikan.  Proses bisnis organisasi dapat menjadi sumber kekuataan kompetitif jika memungkinkan organisasi untuk berinovasi, untuk beroperasi lebih baik dari pesaingnya.  Proses bisnis menjadi sesuatu yang “harus” dievaluasi ketika cara bekerja organisasi telah usang, yang bila dibiarkan dapat menyebabkan inefisiensi dan tidak kompetitifnya organisasi.
Suatu proses bisnis dapat dipecah menjadi beberapa subproses yang masing-masing memiliki atribut sendiri tapi juga berkontribusi untuk mencapai tujuan dari superprosesnya. Analisis proses bisnis umumnya melibatkan pemetaan proses dan subproses di dalamnya hingga tingkatan aktivitas atau kegiatan.

KARAKTERISTIK PROSES BISNIS
Di dalam Wikipedia, beberapa karakteristik umum yang dianggap harus dimiliki suatu proses bisnis adalah:
Definitif: Suatu proses bisnis harus memiliki batasan, masukan, serta keluaran yang jelas.
Urutan: Suatu proses bisnis harus terdiri dari aktivitas yang berurut sesuai waktu dan ruang.
Pelanggan: Suatu proses bisnis harus mempunyai penerima hasil proses.
Nilai tambah: Transformasi yang terjadi dalam proses harus memberikan nilai tambah pada penerima.
Keterkaitan: Suatu proses tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terkait dalam suatu struktur organisasi.
Fungsi silang: Suatu proses umumnya, walaupun tidak harus, mencakup beberapa fungsi. 
Pemilik proses: Seringkali pemilik proses, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap kinerja dan pengembangan berkesinambungan dari proses, juga dianggap sebagai suatu karakteristik proses bisnis.

Andry Delfa,2009, tampaknya setuju dengan uraian diatas, ia menyampaikan pendapat yang hampir mirip dengan Wikipedia, yaitu bahwa karakteristik proses bisnis yang baik adalah :
Adanya proses owner, yaitu orang yang ditunjuk langsung oleh manajemen untuk bertanggung jawab terhadap performa proses agar efektif dan efisien.
Batasan – batasan yang jelas akan proses bisnis yang ada.
Kejelasan hubungan internal dan pertanggung jawabannya.
Prosedur, tugas kerja, kebutuhan training terdokumentasi dengan baik
Memiliki ukuran-ukuran dan system feedback pada setiap aktivitas.
Memiliki ukuran-ukuran dan target yang berhubungan dengan kepuasan user.
Waktu siklus dari setiap aktivitas diketahui dengan jelas.
Mempunyai perumusan atau perubahan prosedur.
Mengetahui tentang bagaimana langkah – langkah selanjutnya agar menjadi lebih baik.

Nah… dengan memahami konsep di atas, rasanya kita dapat meyakini bahwa keterhubungan dalam bekerja sejatinya adalah proses bisnis, yang mutlak diperlukan untuk menciptakan organisasi yang efektif dan efisien.  Persoalannya sekarang, bagaimana menggugah kesadaran pegawai bahwa mereka adalah bagian dari sebuah sistem? Bahwa mereka adalah bagian yang saling terhubung dan saling mendukung?
Untuk menjawab ini, tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali memberikan penjelasan tentang proses bisnis dan motivasi yang cukup kepada pegawai.  Bagaimana caranya?
Bagi orang diklat, responnya biasanya adalah… kita susun saja program diklatnya !  Tetapi yang seperti apa?  Apakah bentuknya diklat konvensional seperti biasa? Atau ada bentuk lain yang lebih menjanjikan?

INHOUSE TRAINING
Bila mengacu kepada “curhatan” pejabat yang disampaikan di awal tulisan ini, kelihatannya bentuk diklatnya tidak bisa seperti yang biasa.  Bentuk yang paling tepat menurut pendapat saya adalah model “Inhouse Training berbasiskan Problema Kinerja Aktual”.  Maksudnya diklatnya diselenggarakan di  lokasi instansi pemohon, bukan di kantor lembaga diklat, atau di hotel, dengan diawali oleh sebuah kegiatan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh Tim Fasilitator dari lembaga diklat untuk mengetahui secara akurat problema kinerja yang terjadi. 
Bentuk diklat seperti ini dipilih karena penjelasan tentang konsep proses bisnis dalam rangka membangun kesadaran keterhubungan, hanya akan memberikan hasil yang maksimal bila diikuti oleh semua pejabat dan staf pada saat yang bersamaan.  Bila dalam bentuk diklat konvensional, nyaris mustahil, karena instansi tidak mungkin mengirim semua pegawai sekaligus untuk mengikuti diklat dan meninggalkan kantor dalam keadaan kosong.
Kelebihan diklat model ini adalah biaya penyelenggaraan yang relatif murah, dan dapat diikuti oleh seluruh pejabat dan staf secara simultan, tanpa terkendala waktu, lokasi, dan biaya yang berarti.

SKENARIO DIKLAT
Perancangan skenario diklat yang meliputi target kompetensi yang ingin dicapai, konten materi, pengalaman belajar, metode, alat bantu, durasi waktu, bentuk evaluasi, dan kualifikasi trainer yang dibutuhkan, semuanya dikonstruksi berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan Team Advance.
Karena misi utamanya adalah membangun kesadaran, maka tentu saja diklat ini akan sarat dengan muatan-muatan motivasi, yang penyampaiannya dikombinasikan dengan pengetahuan akan konsep proses bisnis.  Oleh karena itu fasilitatornya haruslah orang yang paham liku-liku proses bisnis, paham permasalahan riil yang terjadi di instansi klien, dan menguasai teknik-teknik motivasi.
Target kompetensi yang diharapkan dapat tercapai dari diklat ini adalah meningkatnya pengetahuan dan kesadaran para peserta diklat akan pentingnya berpikir serba sistem, dan memahami serta mampu mengimplementasikan dengan baik proses bisnis kedalam pekerjaan sehari-hari.  Dari sini kemudian kita bisa berharap kerjasama, inisiatif, dan inovasi dalam organisasi dapat berkembang lebih baik.
--- oOo ---

BAHAN BACAAN
Andry Delfa, 2014. PROSES BISNIS. Andydelfa.blogspot.com/
Manajemen Operasional, 2014. KONSEP PROSES BISNIS/MANAJEMEN OPERASI.  manajemenoperasional.com
Wikipedia, 2014.  PROSES BISNIS. Id.m.wikipedia.org/wiki/
-------------------------------------------------------------------
*) Rachmat Soegiharto, 49 tahun.  Widyaiswara pada Badan Diklat Provinsi Banten.  Spesialis dalam bidang AKD (Analisis Kebutuhan Diklat), dan Pengembangan Integritas.

Minggu, 14 April 2013

MENDAPATKAN KOMITMEN KHUSUS UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN

Lindsay Sherwin, 2011, mengatakan bahwa menurut Merle Switzer, ada lima langkah membangun komitmen untuk perubahan, yaitu :


1. Mengidentifikasi siapa orang-orang kunci

Siapa orang-orang kunci yang komitmennya akan membantu meningkatkan peluang keberhasilan? Siapa yang akan terpengaruh oleh perubahan ini, baik yang membantu maupun yang berpotensi menggagalkan rencana?


2. Menentukan tingkat dukungan untuk perubahan.

Menentukan seberapa besar komitmen anggota organisasi terhadap perubahan dimaksud. Menentukan siapa yang termasuk kelompok : Mereka yang menolak perubahan; Mereka yang membiarkan perubahan terjadi; Mereka yang membantu; Mereka yang membuat perubahan itu terjadi; Menentukan berapa orang yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan (massa Kritis). Sayangnya, tidak ada formula khusus untuk mencari tahu massa kritis. Sifat dan luasnya ruang lingkup dari perubahan tersebut adalah faktor kunci dalam membuat penentuan ini. Perubahan yang relatif sederhana dan tidak kontroversial akan memerlukan massa kritis yang lebih rendah dari perubahan yang kompleks dan jauh jangkauannya.


3. Mendapatkan komitmen dari massa kritis


Sangat penting untuk mendapatkan komitmen dari massa kritis, kemudian mengembangkan rencana yang sesuai. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan bahwa ia akan ikut berubah jika memiliki cukup alasan, dan paham akan manfaat perubahan tersebut bagi dirinya, maka seorang pejabat harus menyediakan lebih banyak informasi untuk orang itu. Kuncinya adalah memahami apa yang dibutuhkan seorang staf untuk melakukan suatu perubahan dan mengambil langkah untuk memenuhi kebutuhan tersebut.


4. Memonitor status tingkat komitmen

Dengan menciptakan sistem pemantauan untuk mengidentifikasi kemajuan dalam mendapatkan komitmen. ***

Sabtu, 13 April 2013

MEMBANGUN KOMITMEN DALAM TIM KERJA



Komitmen adalah salah satu faktor kunci bagaimana berkontribusi terhadap keberhasilan tim. Sejauh mana sebuah tim mencapai target-target kinerjanya, tergantung pada kemampuan pemimpin untuk membangun dan mendapatkan komitmen anggotanya. Jadi bagaimana cara seorang pemimpin membangun komitmen dalam tim?

1. Memberikan kejelasan atas hasil atau target yang ingin dicapai

2. Mengakui prestasi dan kemajuan tim dan anggota.

Semua orang suka dihargai. Buatlah momen-momen untuk mengakui prestasi tim dan individu di tim secara teratur.

3. Memungkinkan orang untuk membuat kesalahan.

Tidak terluput dari kesalahan adalah situasi yang tidak terelakkan oleh siapapun. Dengan anda bersedia membiarkan orang mengambil risiko dan membuat kesalahan, anda akan mendapatkan komitmen yang lebih tinggi dari anggota tim. Yang terpenting adalah anggota bisa belajar dari kesalahan untuk menuju tingkat pencapaian kinerja tim yang lebih baik.

4. Menampilkan diri sebagai sosok pemimpin yang bisa diandalkan.

Anggota tim perlu mengetahui bahwa mereka dapat mengandalkan anda untuk mendukung mereka dan mengatasi segala hambatan. Dengan mengetahui bahwa anda dapat diandalkan, komitmen anggota tim akan tetap terjaga, bahkan meningkat.

5. Belajarlah untuk mendengarkan.

Anda mungkin memiliki banyak ide sendiri, tetapi penting bagi anda untuk menjadi pendengar yang ahli. Anda harus lakukan ini untuk mendapatkan manfaat dan komitmen yang maksimal dari anggota tim. Salah satu manfaat nyata dari sebuah tim adalah sejumlah gagasan yang mereka hasilkan.

6. Beradaptasilah.

Sebagai pemimpin Anda harus mampu beradaptasi dan membantu menemukan solusi yang terbaik dari semua pilihan yang tersedia untuk Anda.

Membangun komitmen membutuhkan waktu, usaha dan energi. Jika Anda ingin tim Anda untuk memberikan hasil yang terbaik, fokuslah pada membangun komitmen. ***

FAKTOR PENDUKUNG TERBANGUNNYA KOMITMEN PEGAWAI


Mendapatkan pegawai yang memiliki komitmen adalah impian setiap organisasi. Namun bukan perkara yang mudah untuk membangun komitmen pegawai. Berikut adalah beberapa faktor yang bisa membantu organisasi membangun komitmen pegawainya.

1. People-First Value
Para pemimpin perlu membuat kebijakan yang selaras dan mendukung nilai-nilai filosofi People-First (penghargaan SDM sebagai prioritas utama) kepada para manajer dan jajarannya.  Keyakinan bahwa organisasi menempatkan kepentingan pegawai akan mendorong pegawai anda untuk juga menempatkan kepentingan organisasi sebagai prioritas.

2. Two-Way Communication/Guaranteed Fair Team
Komitmen muncul karena adanya kepercayaan, dan kepercayaan membutuhkan komunikasi dua arah. Terima dan diskusikanlah masukan-masukan mereka sebagai bagian dari rencana dan keputusan anda.

3. Creation of Sense of Community Among Employees
Membangun rasa kebersamaan pegawai dengan melibatkan mereka untuk turut peka terhadap kondisi organisasi, baik saat suka, kritis maupun duka. Rasa memiliki yang kuat akan mendorong pegawai anda ikut aktif dalam upaya membangun organisasi.

4. Exhaustive Value-Based Hiring
Organisasi yang memiliki pegawai berkomitmen tinggi tahu bahwa waktu yang tepat untuk mulai membangun komitmen adalah sebelum, bukan setelah pegawai direkrut.  Buatlah sistem perekrutan yang membantu anda mendapatkan kandidat dengan nilai-nilai yang sejalan dengan organisasi.

5. Employee Security
Berikan rasa aman bagi pegawai anda, yakinkan bahwa selama mereka bekerja dengan baik bagi organisasi, maka posisi pekerjaan mereka akan aman dan memiliki kesempatan yang sama dalam mencapai karir yang diinginkan di organisasi.

6. Rewards
Bangunlah rencana sistem penghargaan (rewards) yang mendorong pegawai anda berpikir bahwa mereka adalah mitra organisasi.

7. Employee Self-Actualization
Walau dalam teori Maslow, Self Actualization ada di puncak piramida, bukan berarti anda baru memberi  kesempatan pegawai anda untuk mengaktualisasikan diri setelah mereka memiliki posisi tinggi.  Berikan kesempatan kepada pegawai anda untuk menggunakan keterampilan dan bakat mereka secara penuh dalam menyelesaikan tugas mereka sejak dini.  ***


posted from Bloggeroid

MEMBANGUN KOMITMEN APARATUR YANG BERINTEGRITAS DAN BERKINERJA TINGGI

Para pembaca yang budiman,

Untuk membangun pola pikir kepemimpinan aparatur yang berintegritas dan berkinerja tinggi, maka organisasi perlu meningkatkan kualitas manajemen SDM, melakukan kegiatan pemberdayaan pegawai, dan membangun komitmen melalui visi.

1. Meningkatkan Kualitas Manajemen SDM

Komitmen yang kuat dari para pegawai hanya dapat dicapai melalui praktek-praktek manajemen yang baik. Para pegawai lebih tertarik pada atasan yang memberikan penghargaan kepada pegawainya. Para pemimpin perlu memiliki keterampilan bagaimana memperlakukan para pegawai dengan baik, dan keterampilan seperti ini harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya organisasi.

Karena komitmen organisasi mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, dan terikat dengan tujuan-tujuannya, maka untuk mendapatkan tingkat komitmen yang lebih tinggi, para pemimpin disarankan untuk meningkatkan kepuasan kerja para pegawai.

Perilaku pegawai di tempat kerja, baik positif ataupun negatif dipengaruhi secara langsung oleh atasan yang bersangkutan. Pengaruh positif yang diberikan dapat memperkuat komitmen pegawai, dan sebaliknya, pengaruh yang negatif akan memperlemah komitmennya. Oleh karena itu langkah pertama dalam membangun komitmen adalah meningkatkan kualitas manajemen SDM, khususnya dalam cara memperlakukan dan menghargai pegawai .

Meningkatkan komitmen pegawai menjadi vital, karena saat ini yang menjadi kunci sukses untuk meningkatkan pelayanan dan perubahan yang cepat adalah semangat dan dedikasi pegawai.

Dengan manajemen SDM yang baik akan menciptakan komitmen pegawai yang mengarah kepada pencapaian standar yang diinginkan dalam bekerja. Tanpa komitmen pegawai, tidak akan ada perbaikan di segala bidang.

Tanpa manajemen SDM yang baik, pegawai hanya akan memperlakukan pekerjaan mereka sebagai pekerjaan biasa saja. Masuk di pagi hari dan pulang pada sore hari. Hanya sebuah rutinitas tanpa ada keinginan untuk mencapai lebih. Dengan memiliki banyak pegawai yang mempunyai komitmen, dapat membuat sebuah institusi publik menghasilkan kinerja yang terbaik.



2. Meningkatkan Pemberdayaan

Terdapat hubungan yang sangat erat antara komitmen pegawai dan pemberdayaan yang dilakukan oleh para pemimpin. Pemberdayaan dapat meningkatkan komitmen pegawai karena adanya keinginan dan kesiapan pegawai dalam organisasi untuk diberdayakan, yaitu dengan menerima berbagai tantangan dan tanggung jawab.

Pemberdayaan itu sendiri merupakan serangkaian proses pemberian wewenang dan tanggungjawab kepada anggota organisasi. Sebagaimana ditulis dalam Jurnal Manajemen, 2011, Sharafat Khan mengatakan bahwa jenis pemberdayaan yang dapat dikembangkan untuk memperkuat komitmen anggota organisasi adalah :

a. Membangun Kepercayaan

Adanya saling percaya diantara anggota organisasi akan menciptakan suasana yang kondusif untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut. Kepercayaan antara keduanya dapat diciptakan dengan cara antara lain :

· Menyediakan waktu dan sumber daya yang cukup bagi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan;

· Menyediakan pelatihan yang mencukupi kebutuhan kerja;

· Menghargai perbedaan pandangan diantara para pegawai ;

· Menyediakan akses informasi yang cukup.



b. Membangun Kepercayaan Diri

Pemimpin dapat menumbuhkan rasa percaya diri pegawai dengan cara menghargai kemampuan yang dimiliki pegawai tersebut, sehingga komitmennya terhadap organisasi semakin tinggi. Kepercayaan diri pegawai dapat dibangun antara lain dengan :

· Mendelegasikan tugas penting kepada pegawai ;

· Menggali saran dan ide dari pegawai ;

· Memperluas tugas pegawai, dan memintanya untuk membangun jaringan antar unit kerja, atau antar organisasi ;

· Menyediakan instruksi tugas untuk penyelesaian pekerjaan yang baik.



c. Menjaga Kredibilitas

Pemimpin perlu menjaga kredibilitas dirinya dengan memberikan penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat, sehingga tercipta organisasi yang memiliki kinerja tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara antara lain :

· Memandang karyawan sebagai mitra strategis;

· Peningkatan target di semua bagian;

· Mendorong inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi;

· Membantu menyelesaikan perbedaan dalam penentuan tujuan dan prioritas.



d. Peningkatan Pertanggungjawaban


Pemimpin perlu meningkatkan pertanggungjawaban pegawai pada wewenang yang diberikan, dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standar dan target kinerja yang harus dicapai.

· Peningkatan akuntabilitas dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

· Memberikan pelatihan yang mendukung pelaksanaan tugas ;

· Memberikan tugas yang jelas dan ukuran kinerja yang jelas ;

· Melibatkan pegawai dalam penentuan standar dan ukuran kinerja ;

· Memberikan saran dan bantuan kepada pegawai dalam menyelesaikan tugasnya.

Jika pegawai memiliki tanggungjawab yang besar terhadap pekerjaannya, adanya pengalaman yang baik dalam bekerja, dan adanya usaha yang sungguh-sungguh dari organisasi untuk membantu pegawai dalam belajar tentang organisasi dan pekerjaannya, maka akan tercipta komitmen pada organisasi.



3. Menggaungkan Visi


Menurut Irma Sukma Dewi, et al. 2011, sebuah sistem organisasi merupakan sebuah sistem yang memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan satu sama lain serta berkontribusi untuk mewujudkan visi. Visi memainkan peranan yang penting, tidak hanya pada masa awal pembentukan sebuah organisasi tetapi menjadi nafas sepanjang kehidupannya. Visi menjadi penunjuk arah yang mengarahkan semua orang untuk mengerti maksud dan tujuan dari sebuah organisasi.

Visi menggambarkan masa depan yang realistik, dapat dipercaya, dan menarik. Lebih jelasnya, visi merupakan pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit menuju masa depan yang dicita-citakan. Visi adalah awal dari masa depan. Visi menyatakan apa yang ingin dicapai di masa depan dengan:

· Menggunakan pernyataan yang menggugah,

· Disusun secara jelas,

· Berdasarkan pada analisa yang mendalam mengenai situasi dan kondisi saat ini,

· Bercermin pada keberhasilan dan kegagalan yang pernah terjadi di masa lampau, sehingga pernyataan tersebut dapat dipercaya oleh semua elemen dalam organisasi.

· Dapat menjadi inspirasi bagi seseorang untuk secara sukarela berkomitmen utuh untuk menjamin tercapainya masa depan yang lebih cerah, baik untuk diri sendiri, organisasi, maupun lingkup yang lebih luas,

· Memaknai tugas secara yang lebih mendalam sehingga menyentuh ke esensi keberadaan seseorang, baik untuk dirinya sendiri maupun terhadap kehidupan orang-orang yang terlibat,

· Menjaga standar kualitas dari kinerja organisasi dalam menghasilkan suatu karya,

· Menjadi jembatan antara masa ini dan masa depan, menghubungkan apa yang sekarang harus dikerjakan untuk menjamin kejelasan apa yang akan dicapai di masa depan.

Pada suatu waktu di masa depan, visi bisa saja berubah, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Orang-orang di dalam organisasi harus siap menghadapi perubahan, dan menyadari kepentingan perubahan tersebut. Kesadaran ini termasuk datang dari pemimpin, yang idealnya justru menjadi pelopor perubahan tersebut karena keberadaan visi adalah suatu hal yang sangat penting bagi pemimpin.

Langkah-langkah untuk mencapai visi digambarkan dalam pernyataan-pernyataan yang berupa misi. Pada umumnya, misi merupakan tujuan umum dari tim, maka sewajarnya dibatasi beberapa saja, mungkin lima atau enam. Ketika misi menjelaskan arah yang diambil tim, misi menjadi strategis dan harus dapat menjawab pertanyaan Kemana tujuan kita?.

Dengan pernyataan yang jelas tentang visi dan misi, masa depan organisasi akan menjadi jelas, realistis, dan menarik. ***

posted from Bloggeroid