Sabtu, 25 Oktober 2014

Inhouse Training Untuk Membangun Kesadaran Keterhubungan Dalam Bekerja

Dalam sebuah diskusi belum lama ini, dua orang pejabat dari sebuah pemda menyampaikan sebuah kisah yang menarik.  Mereka mengaku kesal dengan para pegawai di kantor mereka masing-masing yang mereka anggap kurang memiliki kesadaran terhadap keterhubungan pekerjaan.  Kesadaran akan adanya saling keterkaitan, saling mendukung, saling melengkapi, dan saling bergantung antara unit-unit kerja di instansi tempat mereka bekerja.  Menurut mereka, para pejabat dan pegawai saat ini sangat berorientasi kepada dirinya sendiri, dan berpikir sebatas hanya untuk unit kerjanya sendiri.
Akibat kurangnya kesadaran ini, banyak persoalan kerja yang kemudian muncul.  Banyak pekerjaan yang menjadi terlambat untuk diselesaikan hanya karena harus menunggu hadirnya seseorang, atau terpaksa harus tertunda karena proses di unit kerja lainnya belum selesai.
Pada kasus yang lain, rendahnya kesadaran keterhubungan ini juga tidak jarang mengakibatkan terputusnya atau terbengkalainya suatu pekerjaan akibat tidak jelasnya siapa eksekutor berikutnya.  Lalu ketika terjadi masalah, masing-masing bagian lepas tanggungjawab.
Selain berdampak pada persoalan-persoalan teknis, rendahnya kesadaran keterhubungan ini juga berimbas kepada sikap mental para pegawai.  Mereka menjadi kurang kreatif dan kurang terdorong untuk melakukan inovasi.  Dari hari ke hari para pegawai hanya menjalani rutinitasnya saja tanpa mempedulikan apakah pekerjaannya memiliki dampak atau tidak bagi unit kerja lainnya.  Mereka kurang memikirkan apakah mereka sudah memberikan pelayanan yang terbaik atau belum kepada proses berikutnya.  Para pegawai kurang memiliki kesadaran bahwa mereka sebenarnya adalah bagian dari sebuah sistem yang saling terkait untuk menuju pada tujuan yang sama.
Pendek kata, hampir semua pejabat dan staf di semua bagian telah terjebak pada cara berpikir yang sangat sektoral.  Orientasinya sebatas yang penting kerjaan di bagiannya beres, tidak peduli dengan urusan di bagian lainnya.  Disadari atau tidak, kondisi ini terjadi hampir di semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.  Bahkan mungkin juga di dunia swasta.  Apakah hal ini juga terjadi di tempat anda?
Dengan fenomena diatas, maka dapat dipahami kalau kurangnya kesadaran terhadap keterhubungan pekerjaan akhirnya berpengaruh signifikan terhadap resultan kinerja organisasi.

Dalam konteks kediklatan, rendahnya kesadaran keterhubungan ini seharusnya menjadi isu yang menarik, khususnya bagi para widyaiswara, dan umumnya bagi para insan kediklatan yang berkecimpung dalam perancangan program diklat.  Mengapa? Karena diklat sesungguhnya mampu memberikan jawaban atas persoalan ini.  Pertanyaan utama yang harus dapat dijawab adalah: mengapa pejabat/staf umumnya kurang peduli dengan mekanisme “linking” ini?  Apakah ini persoalan mentalitas? Ataukah ini lebih karena kurangnya pemahaman terhadap proses bisnis organisasi?
Saya pribadi berpendapat bahwa disana terjadi dua persoalan sekaligus, (1) mentalitas, dan juga (2) penguasaan proses bisnis.  Agar lebih bisa memahami persoalan, mari kita lihat terlebih dahulu konsep keterhubungan dalam bekerja dalam teori proses bisnis berikut ini:

PROSES BISNIS
Proses bisnis adalah suatu kumpulan aktivitas atau pekerjaan terstruktur yang saling terkait untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu, atau untuk menghasilkan produk atau layanan tertentu (Wikipedia, 2014).  Proses bisnis pada dasarnya adalah kumpulan aktivitas yang mengubah input menjadi output yang lebih bernilai.

Proses bisnis akan menghasilkan output yang diharapkan, apabila didukung oleh beberapa elemen.  Elemen-elemen ini adalah: (i) rancangan aliran kerja, (ii) teknologi informasi, (iii) motivasi dan pengukurannya, (iv) sumber daya manusia, (v) kebijakan dan aturan, dan (vi) fasilitas.

Menurut Andry Delfa, 2009 (dengan modifikasi), suatu proses bisnis yang baik harus memiliki tujuan-tujuan seperti mengefektifkan, mengefisienkan, dan membuat mudah untuk beradaptasi pada proses-proses didalamnya.  Artinya proses bisnis tersebut harus merupakan proses bisnis yang berorientasi kepada jumlah dan kualitas produk output, minimal dalam menggunakan sumber daya, dan dapat beradaptasi sesuai dengan kebutuhan pasar.  Proses bisnis juga mengacu kepada teknik-teknik manajemen untuk mengkoordinasikan pekerjaan. Setiap pekerjaan dapat dilihat sebagai sekumpulan proses.  Beberapa dari proses ini adalah bagian dari proses yang cakupannya lebih besar,
Kinerja organisasi tergantung pada seberapa baik proses bisnis dirancang dan dikoordinasikan.  Proses bisnis organisasi dapat menjadi sumber kekuataan kompetitif jika memungkinkan organisasi untuk berinovasi, untuk beroperasi lebih baik dari pesaingnya.  Proses bisnis menjadi sesuatu yang “harus” dievaluasi ketika cara bekerja organisasi telah usang, yang bila dibiarkan dapat menyebabkan inefisiensi dan tidak kompetitifnya organisasi.
Suatu proses bisnis dapat dipecah menjadi beberapa subproses yang masing-masing memiliki atribut sendiri tapi juga berkontribusi untuk mencapai tujuan dari superprosesnya. Analisis proses bisnis umumnya melibatkan pemetaan proses dan subproses di dalamnya hingga tingkatan aktivitas atau kegiatan.

KARAKTERISTIK PROSES BISNIS
Di dalam Wikipedia, beberapa karakteristik umum yang dianggap harus dimiliki suatu proses bisnis adalah:
Definitif: Suatu proses bisnis harus memiliki batasan, masukan, serta keluaran yang jelas.
Urutan: Suatu proses bisnis harus terdiri dari aktivitas yang berurut sesuai waktu dan ruang.
Pelanggan: Suatu proses bisnis harus mempunyai penerima hasil proses.
Nilai tambah: Transformasi yang terjadi dalam proses harus memberikan nilai tambah pada penerima.
Keterkaitan: Suatu proses tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terkait dalam suatu struktur organisasi.
Fungsi silang: Suatu proses umumnya, walaupun tidak harus, mencakup beberapa fungsi. 
Pemilik proses: Seringkali pemilik proses, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap kinerja dan pengembangan berkesinambungan dari proses, juga dianggap sebagai suatu karakteristik proses bisnis.

Andry Delfa,2009, tampaknya setuju dengan uraian diatas, ia menyampaikan pendapat yang hampir mirip dengan Wikipedia, yaitu bahwa karakteristik proses bisnis yang baik adalah :
Adanya proses owner, yaitu orang yang ditunjuk langsung oleh manajemen untuk bertanggung jawab terhadap performa proses agar efektif dan efisien.
Batasan – batasan yang jelas akan proses bisnis yang ada.
Kejelasan hubungan internal dan pertanggung jawabannya.
Prosedur, tugas kerja, kebutuhan training terdokumentasi dengan baik
Memiliki ukuran-ukuran dan system feedback pada setiap aktivitas.
Memiliki ukuran-ukuran dan target yang berhubungan dengan kepuasan user.
Waktu siklus dari setiap aktivitas diketahui dengan jelas.
Mempunyai perumusan atau perubahan prosedur.
Mengetahui tentang bagaimana langkah – langkah selanjutnya agar menjadi lebih baik.

Nah… dengan memahami konsep di atas, rasanya kita dapat meyakini bahwa keterhubungan dalam bekerja sejatinya adalah proses bisnis, yang mutlak diperlukan untuk menciptakan organisasi yang efektif dan efisien.  Persoalannya sekarang, bagaimana menggugah kesadaran pegawai bahwa mereka adalah bagian dari sebuah sistem? Bahwa mereka adalah bagian yang saling terhubung dan saling mendukung?
Untuk menjawab ini, tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali memberikan penjelasan tentang proses bisnis dan motivasi yang cukup kepada pegawai.  Bagaimana caranya?
Bagi orang diklat, responnya biasanya adalah… kita susun saja program diklatnya !  Tetapi yang seperti apa?  Apakah bentuknya diklat konvensional seperti biasa? Atau ada bentuk lain yang lebih menjanjikan?

INHOUSE TRAINING
Bila mengacu kepada “curhatan” pejabat yang disampaikan di awal tulisan ini, kelihatannya bentuk diklatnya tidak bisa seperti yang biasa.  Bentuk yang paling tepat menurut pendapat saya adalah model “Inhouse Training berbasiskan Problema Kinerja Aktual”.  Maksudnya diklatnya diselenggarakan di  lokasi instansi pemohon, bukan di kantor lembaga diklat, atau di hotel, dengan diawali oleh sebuah kegiatan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh Tim Fasilitator dari lembaga diklat untuk mengetahui secara akurat problema kinerja yang terjadi. 
Bentuk diklat seperti ini dipilih karena penjelasan tentang konsep proses bisnis dalam rangka membangun kesadaran keterhubungan, hanya akan memberikan hasil yang maksimal bila diikuti oleh semua pejabat dan staf pada saat yang bersamaan.  Bila dalam bentuk diklat konvensional, nyaris mustahil, karena instansi tidak mungkin mengirim semua pegawai sekaligus untuk mengikuti diklat dan meninggalkan kantor dalam keadaan kosong.
Kelebihan diklat model ini adalah biaya penyelenggaraan yang relatif murah, dan dapat diikuti oleh seluruh pejabat dan staf secara simultan, tanpa terkendala waktu, lokasi, dan biaya yang berarti.

SKENARIO DIKLAT
Perancangan skenario diklat yang meliputi target kompetensi yang ingin dicapai, konten materi, pengalaman belajar, metode, alat bantu, durasi waktu, bentuk evaluasi, dan kualifikasi trainer yang dibutuhkan, semuanya dikonstruksi berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan Team Advance.
Karena misi utamanya adalah membangun kesadaran, maka tentu saja diklat ini akan sarat dengan muatan-muatan motivasi, yang penyampaiannya dikombinasikan dengan pengetahuan akan konsep proses bisnis.  Oleh karena itu fasilitatornya haruslah orang yang paham liku-liku proses bisnis, paham permasalahan riil yang terjadi di instansi klien, dan menguasai teknik-teknik motivasi.
Target kompetensi yang diharapkan dapat tercapai dari diklat ini adalah meningkatnya pengetahuan dan kesadaran para peserta diklat akan pentingnya berpikir serba sistem, dan memahami serta mampu mengimplementasikan dengan baik proses bisnis kedalam pekerjaan sehari-hari.  Dari sini kemudian kita bisa berharap kerjasama, inisiatif, dan inovasi dalam organisasi dapat berkembang lebih baik.
--- oOo ---

BAHAN BACAAN
Andry Delfa, 2014. PROSES BISNIS. Andydelfa.blogspot.com/
Manajemen Operasional, 2014. KONSEP PROSES BISNIS/MANAJEMEN OPERASI.  manajemenoperasional.com
Wikipedia, 2014.  PROSES BISNIS. Id.m.wikipedia.org/wiki/
-------------------------------------------------------------------
*) Rachmat Soegiharto, 49 tahun.  Widyaiswara pada Badan Diklat Provinsi Banten.  Spesialis dalam bidang AKD (Analisis Kebutuhan Diklat), dan Pengembangan Integritas.