Ketika
seorang pemimpin tampak oleh anak buahnya melakukan korupsi, langsung atau
tidak langsung, maka jangan pernah berharap anda bisa berwibawa dihadapan anak
buah. Kalau mereka memperlihatkan sikap
tunduk dan patuh kepada anda, sadarlah bahwa apa yang mereka perlihatkan itu sebenarnya
adalah sikap yang semu. Mungkin kita
tidak menyadari bahwa di balik punggung kita mereka sesungguhnya mencibir,
menista, dan memandang kita sebagai orang yang rendah. Bahkan lebih jauh lagi, kita dipandang
sebagai sampah menjijikkan yang harus dibasmi (maaf!). Bila kondisinya seperti ini, apa yang bisa
anda banggakan sebagai seorang pemimpin?
Lebih jauh
lagi. Bila “keteladanan” anda melakukan
korupsi kemudian diikuti oleh anak buah, dan pola seperti ini terus
dipertahankan. Kita bisa menduga apa
yang akan terjadi. Semua orang pada
levelnya masing-masing akan berorientasi pada uang, uang, dan uang... Tidak ada lagi idealisme untuk mencapai
target kinerja. Tidak ada lagi fokus
untuk menghasilkan output dan outcome yang seharusnya dihasilkan. Anggaran organisasi diperlakukan seolah uang
milik pribadi. Kehidupan organisasi
menjadi penuh syak wasangka. Tidak ada
lagi keharmonisan hubungan kerja.
Semuanya penuh dengan beban psikologis.
Bila sudah seperti ini (dan memang seperti inilah fakta yang banyak kita
temui), dimana letak kebahagiaan kita sebagai seorang aparatur. Apakah banyaknya uang yang berhasil kita
korupsi memberi kita kebahagiaan? Atau sebaliknya. Kehidupan anda sejak saat itu menjadi penuh
dengan kecemasan. Takut ketahuan
inspektorat, takut ketahuan BPK, BPKP, takut KPK, takut wartawan, takut LSM,
takut anak buah sendiri “bernyanyi”. Anda menjadi paranoid. Setiap dering telpon membuat jantung anda
berdetak. Menerima surat dari kejaksaan
atau kepolisian langsung membuat perut mulas, padahal cuma undangan sosialisasi.
Bila sudah
seperti ini, apa yang membuat anda bahagia menjadi seorang pemimpin?
Apakah
dampak dari “keteladanan korupsi” berhenti sampai disana? Belum. Itu baru sebagian saja. Bagaimana kalau anda terserang stroke? Atau
istri anda yang sakit berat, atau anak anda yang sakit berat? Atau seandainya
keluarga anda sehat, bagaimana kalau mereka kemudian menjadi liar? Anak
terlibat narkoba dan pergaulan bebas.
Atau istri berselingkuh. Bagaimana
kalau masyarakat mendoakan keburukan untuk anda?
Kalau sudah
seperti itu, dimana kebahagiaan anda mengendarai kendaraan yang bagus, rumah yang
bagus, dan pakaian yang bagus, hasil dari korupsi yang anda lakukan?
Apakah
terpikir oleh kita bahwa semua yang kita lakukan tadi, juga harus
dipertanggungjawabkan di mahkamah akhirat kelak... ?
Bapak ibu
pembaca yang budiman, sesungguhnya sangat merugi kalau kita memberikan
keteladanan korupsi. Belum pernah ada
cerita di dunia ini orang yang berbahagia karena korupsinya. Dan yakinlah, tidak akan pernah ada. Karena Tuhan Yang Maha Kuasa sudah
menetapkan, “Perbuatan dosa itu membuat hati gelisah”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar