Kamis, 11 April 2013

KETELADANAN NEGATIF



Ketika seorang pemimpin tampak oleh anak buahnya melakukan korupsi, langsung atau tidak langsung, maka jangan pernah berharap anda bisa berwibawa dihadapan anak buah.  Kalau mereka memperlihatkan sikap tunduk dan patuh kepada anda, sadarlah bahwa apa yang mereka perlihatkan itu sebenarnya adalah sikap yang semu.  Mungkin kita tidak menyadari bahwa di balik punggung kita mereka sesungguhnya mencibir, menista, dan memandang kita sebagai orang yang rendah.  Bahkan lebih jauh lagi, kita dipandang sebagai sampah menjijikkan yang harus dibasmi (maaf!).  Bila kondisinya seperti ini, apa yang bisa anda banggakan sebagai seorang pemimpin?
Lebih jauh lagi.  Bila “keteladanan” anda melakukan korupsi kemudian diikuti oleh anak buah, dan pola seperti ini terus dipertahankan.  Kita bisa menduga apa yang akan terjadi.  Semua orang pada levelnya masing-masing akan berorientasi pada uang, uang, dan uang...  Tidak ada lagi idealisme untuk mencapai target kinerja.  Tidak ada lagi fokus untuk menghasilkan output dan outcome yang seharusnya dihasilkan.  Anggaran organisasi diperlakukan seolah uang milik pribadi.  Kehidupan organisasi menjadi penuh syak wasangka.  Tidak ada lagi keharmonisan hubungan kerja.  Semuanya penuh dengan beban psikologis.  Bila sudah seperti ini (dan memang seperti inilah fakta yang banyak kita temui), dimana letak kebahagiaan kita sebagai seorang aparatur.  Apakah banyaknya uang yang berhasil kita korupsi memberi kita kebahagiaan? Atau sebaliknya.  Kehidupan anda sejak saat itu menjadi penuh dengan kecemasan.  Takut ketahuan inspektorat, takut ketahuan BPK, BPKP, takut KPK, takut wartawan, takut LSM, takut anak buah sendiri “bernyanyi”.   Anda menjadi paranoid.  Setiap dering telpon membuat jantung anda berdetak.  Menerima surat dari kejaksaan atau kepolisian langsung membuat perut mulas, padahal cuma undangan sosialisasi.
Bila sudah seperti ini, apa yang membuat anda bahagia menjadi seorang pemimpin?
Apakah dampak dari “keteladanan korupsi” berhenti sampai disana? Belum.  Itu baru sebagian saja.  Bagaimana kalau anda terserang stroke? Atau istri anda yang sakit berat, atau anak anda yang sakit berat? Atau seandainya keluarga anda sehat, bagaimana kalau mereka kemudian menjadi liar? Anak terlibat narkoba dan pergaulan bebas.  Atau istri berselingkuh.  Bagaimana kalau masyarakat mendoakan keburukan untuk anda?
Kalau sudah seperti itu, dimana kebahagiaan anda mengendarai kendaraan yang bagus, rumah yang bagus, dan pakaian yang bagus, hasil dari korupsi yang anda lakukan?
Apakah terpikir oleh kita bahwa semua yang kita lakukan tadi, juga harus dipertanggungjawabkan di mahkamah akhirat kelak... ?
Bapak ibu pembaca yang budiman, sesungguhnya sangat merugi kalau kita memberikan keteladanan korupsi.  Belum pernah ada cerita di dunia ini orang yang berbahagia karena korupsinya.  Dan yakinlah, tidak akan pernah ada.  Karena Tuhan Yang Maha Kuasa sudah menetapkan, “Perbuatan dosa itu membuat hati gelisah”. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar